Pendekatan
matematika realistik berangkat dari pandangan Hans Freudenthal tentang
matematika yakni matematika merupakan aktivitas insani (mathematics as human activity). Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata (real world) dengan bimbingan orang dewasa dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika.
Pada
pendekatan matematika realistik, konsep dibangun pada pembelajaran
yang terfokus pada peran aktif siswa. Hal ini sejalan dengan pandangan
kontruktivis tentang belajar yakni pengetahuan merupakan konstruksi
(bentukan) dari orang yang mengenal skemata. Pengetahuan tidak bisa
ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang memiliki
skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Bukti konkrit tentang hal
ini dapat dilihat dalam praktek di kelas. Sejumlah anak diajar dengan
guru yang sama, pada waktu yang sama dan muatan materi yang sama, namun
hasil yang diperoleh antara satu anak dengan yang lain berbeda. Kondisi
yang demikian menyadarkan kita sebagai guru bahwa pembentukan
pengetahuan terbentuk dari aktivitas siswa membangun pengetahuan itu
sendiri, bukan pemberian guru. Guru hanyalah fasilitator yang bertugas
menciptakan suasana yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya.
Fokus
kedua dalam pendekatan matematika realistik adalah konsep matematika
diperoleh melalui penjelajahan terhadap berbagai situasi kontekstual.
Belajar melalui situasi-situasi yang kontekstual diyakini dapat
mempercepat terjadinya akomodasi antara informasi yang masuk (asimilasi)
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Memahami konsep-konsep
yang dibangun melalui hal-hal yang kontekstual sangat kuat hubungannya
dengan pengetahuan yang dimiliki siswa maka proses penerimaan
pengetahuan melalui konteks yang nyata tersebut akan semakin cepat dan
lebih bertahan lama. Penyataan ini sejalan dengan dampak dari suatu
pengalaman belajar sebagaimana diketahui, Johnson dan Rising (dalam
Ruseffendi, 2006), bahwa orang dapat mengingat sekitar seperlima dari
yang didengar, setengah dari yang dilihat dan tiga perempat dari yang
diperbuatnya. Sehubungan dengan itu, maka tugas guru adalah menyediakan
konteks-konteks (dunia nyata) yang sesuai dengan bahan ajar. Semakin
banyak guru menghubungkan materi bahan ajar dengan dunia nyata tersebut
maka lebih banyak makna belajar yang diperoleh siswa.
Menurut
Treffers (1987) pendekatan belajar yang diawali dengan soal-soal yang
kontekstual, kemudian mencoba untuk menguraikannya dengan simbol yang
dibuat sendiri, kemudian menyelesaikannya disebut dengan matematisasi
horisontal. Hal ini sangat berbeda dengan praktek pembelajaran
matematika yang umum diterapkan guru yakni top-down. Siswa
mempelajari konsep matematika formal dengan baik, kemudian pengetahuan
yang diperoleh digunakan sebagai alat penghubung untuk menjembatani ke
matematika formal berikutnya (lebih tinggi) dan menyelesaikan
masalah-masalah real. Menurut Treffers (1987) pendekatan belajar yang
demikian disebut dengan matematisasi vertikal.
Penerapan
matematisasi vertikal, membuat siswa cenderung menghafal
langkah-langkah penyelesaian, konsep atau prinsip yang terdapat dalam
materi yang dipelajarinya. Kondisi ini membuat pondasi siswa dalam
membangun pengetahuan matematika yang lebih tinggi dan kemampuan
penyelesaian permasalahan matematika sangat lemah. Tidak demikian
halnya dalam pendekatan matematika realistik, siswa diberi kesempatan
untuk membangun pengetahuan dari konteks-konteks nyata dan menyusun
konsep dan prinsip matematika dengan cara mereka sendiri. Pengetahuan
yang dibangun melalui kegiatan seperti itu akan lebih kuat dan kemampuan
mereka untuk menyelesaikan masalah matematika lebih baik.
Agar
kegiatan pembelajaran dengan penerapan RME berjalan dengan baik, maka
prinsip-prinsip pendekatan RME harus dipahami dengan baik. Menurut
Gravemeijer (1994), prinsip-prinsip pendekatan RME adalah: (a) Guided Reinvention and Progressive Mathematization (penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif, (b) Didactical Phenomenology (penomena didaktik), dan (c) Self-developed Models (membangun model sendiri).
a. Guided Reinvention and Progressive Mathematization
Guided reinvention bermakna bahwa konsep dan prinsip dalam matematika ditemukan oleh siswa dengan bimbingan orang dewasa (guru). Reinvention
artinya siswa diberikan kesempatan untuk mengalami proses pembelajaran
seperti para ilmuan saat mereka menemukan suatu konsep melalui topik
yang disajikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau
mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat
menemukan atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya.
Dengan demikian siswa merasa bahwa mereka menemukan sendiri apa yang
dipelajarinya. Jadi para siswa didorong untuk aktif selama pembelajaran
berlangsung, sehingga mereka dapat mengkontruksi pengetahuan mereka
sendiri.
b. Didactical Phenomenology
Didactical phenomenology
(fenomena didaktik), artinya dalam mempelajari konsep-konsep mengandung
prinsip-prinsip dan materi-materi lain dalam matematika. Para siswa
perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual,
yaitu masalah yang berasal dari dunia nyata atau setidak-tidaknya dari
masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah nyata.
c. Self-development Model
Self-development model
(mengembangkan model sendiri), artinya dalam mempelajari konsep-konsep
dan materi-materi matematika yang lain dengan melalui masalah-masalah
yang kontekstual, siswa perlu mengembangkan sendiri model-model atau
cara-cara menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Model-model tersebut
dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berfikir yang
paling dikenal oleh siswa yang mungkin masih bersifat intuitif, kearah
berfikir yang lebih formal.
Prinsip
utama RME menunjukkan bahwa pendekatan ini memandang peserta didik
adalah individu yang memiliki pengalaman yang nyata dan dapat
dimanfaatkan membangun pengalaman belajar yang baru atas bimbingan guru.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Andeson (1994), Loucks-Horsley (1998), van
de Berg (1996), Wart, (1994) (dalam Sutarto, 1999), bahwa pendekatan
realistik memiliki pandangan tentang siswa sebagai berikut,
1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematik yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
3. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan kembali, dan penolakan;
4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
5. Setiap siswa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Sehubungan
dengan hal ini, Gravemeijer (1994) mengemukakan lima karakteristik
utama dalam pendekatan matematika realistik, yakni: (1) menggunakan
masalah kontekstual (used contektul problem); (2) menggunakan model; (3)
menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (4) interaktif
(interactiviti); dan (5) keterkaitan (intertwinment).
a. Menggunakan Masalah Kontekstual
Masalah
kontekstual dalam pendekatan matematika realistik dijadikan sebagai
titik awal siswa dalam belajar, untuk menopang terlaksananya suatu
proses penemuan kembali (reinvention) sehingga secara formal siswa dapat memahami konsep matematika. Sehubungan
dengan itu, maka pemilihan masalah kontekstual untuk diajukan kepada
siswa harus melihat latar belakang peserta didik. Berkaitan dengan
fungsi masalah kontekstual, Treffers dan Goffree (1985) mengemukakan
bahwa soal-soal yang kontekstual tersebut berfungsi, sebagai: (1)
pembentukan konsep (untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika);
(2) pembentukan model (untuk membentuk model dasar matematika dalam
mendukung pola pikir bermatematika); (3). pengaplikasian (untuk
memanfaatkan keadaan nyata sebagai sumber aplikasi); dan (4). latihan (
untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata).
b. Menggunakan Model
Agar
masalah kontekstual yang dihadapkan kepada siswa dapat diselesaikan
secara matematika, maka permasalahan tersebut harus terlebih dahulu
dinyatakan dalam bentuk model matematika (model for). Hal inilah
yang disebut dengan pemodelan. Dalam proses pemodelan ini, siswa mencoba
menemukan hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan
mentransfernya ke dalam model matematika melalui penskemaan, perumusan,
dan pemvisualisasi yang dapat berupa lambang-lambang matematik, skema,
grafik, diagram, manipulasi aljabar, serta yang lain. Aktivitas siswa
dimulai dari mempormulasikan masalah kontekstual ke dalam bentuk
informal yang disebut dengan model of. Melalui proses refleksi dan generalisasi, siswa diarahkan ke model matematika yang lebih umum yang disebut dengan model for.
c. Menggunakan Kontribusi dan Produksi Siswa
Dalam
proses pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, siswa akan
mengembangkan cara-cara penyelesaian masalah yang diberikan menurut
cara-cara mereka sendiri. Sehubungan dengan itu, maka siswa baik secara
individual atau berkelompok harus memberikan kontribusinya dengan
strategi-strategi penyelesaian yang dikembangkan sendiri oleh siswa (free production) dalam penyelesaian masalah tersebut.
d. Interaktif
Dalam
mengembangkan penyelesaian-penyelesaian masalah kontekstual, siswa
saling berinteraksi dan memberikan kontribusi yang difasilitasi
oleh guru. Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru
merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik. Bentuk
interaksi yang terjadi dalam pembelajaran dapat berupa negoisasi secara
eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan guru.
e. Keterkaitan (Intertwinment)
Salah
satu cara untuk meningkatkan image positif siswa terhadap matematika
adalah mempersiapkan siswa menerima pelajaran dengan cara membantu siswa
menghubungkan pengetahuannya dengan materi yang akan dipelajarinya. Hal
ini sangat penting, karena siswa akan melihat bahwa ada jalinan atau
keterkaitan antar satu konsep dengan konsep lain atau satu materi dengan
materi lain baik dalam matematika itu sendiri maupun dengan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar