Rabu, 21 Desember 2011

Pendekatan Matematika Realistik

Pendekatan matematika realistik berangkat dari pandangan Hans Freudenthal tentang  matematika yakni matematika merupakan aktivitas insani (mathematics as human activity).  Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata (real world) dengan bimbingan orang dewasa dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika.
Pada pendekatan matematika realistik, konsep dibangun pada pembelajaran yang  terfokus pada  peran aktif siswa. Hal ini sejalan dengan pandangan kontruktivis tentang belajar yakni pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal skemata. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang memiliki skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Bukti konkrit tentang hal ini dapat dilihat dalam praktek di kelas. Sejumlah anak diajar dengan guru yang sama, pada waktu yang sama dan muatan materi yang sama, namun hasil yang diperoleh antara satu anak dengan yang lain berbeda. Kondisi yang demikian menyadarkan kita sebagai guru bahwa pembentukan pengetahuan terbentuk dari aktivitas siswa membangun pengetahuan itu sendiri, bukan pemberian guru. Guru hanyalah fasilitator yang bertugas menciptakan suasana yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya.
Fokus kedua dalam pendekatan matematika realistik adalah konsep matematika diperoleh melalui penjelajahan terhadap berbagai situasi kontekstual. Belajar melalui situasi-situasi yang kontekstual diyakini dapat mempercepat terjadinya akomodasi antara informasi yang masuk (asimilasi) dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Memahami konsep-konsep yang dibangun melalui hal-hal yang kontekstual sangat kuat hubungannya dengan pengetahuan yang dimiliki siswa maka proses penerimaan pengetahuan melalui konteks yang nyata tersebut akan semakin cepat dan lebih bertahan lama. Penyataan ini sejalan dengan dampak dari suatu pengalaman belajar sebagaimana diketahui, Johnson dan Rising (dalam Ruseffendi, 2006), bahwa orang dapat mengingat sekitar seperlima dari yang didengar, setengah dari yang dilihat dan tiga perempat dari yang diperbuatnya. Sehubungan dengan itu, maka tugas guru adalah menyediakan konteks-konteks (dunia nyata) yang sesuai dengan bahan ajar. Semakin banyak guru menghubungkan materi bahan ajar dengan dunia nyata tersebut maka lebih banyak makna belajar yang diperoleh siswa.
Menurut Treffers (1987) pendekatan belajar yang diawali dengan soal-soal yang kontekstual, kemudian mencoba untuk menguraikannya dengan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikannya disebut dengan matematisasi horisontal. Hal ini sangat berbeda dengan praktek  pembelajaran matematika yang umum diterapkan guru  yakni top-down. Siswa mempelajari konsep matematika formal dengan baik, kemudian pengetahuan yang diperoleh digunakan sebagai alat penghubung untuk menjembatani ke matematika formal berikutnya (lebih tinggi) dan menyelesaikan masalah-masalah real. Menurut Treffers (1987) pendekatan belajar yang demikian disebut dengan matematisasi vertikal.
Penerapan matematisasi vertikal, membuat siswa cenderung menghafal langkah-langkah penyelesaian, konsep atau prinsip yang terdapat dalam materi yang dipelajarinya. Kondisi ini membuat pondasi siswa dalam membangun pengetahuan matematika yang lebih tinggi dan kemampuan penyelesaian permasalahan matematika sangat lemah.  Tidak demikian halnya dalam pendekatan matematika realistik, siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dari konteks-konteks nyata dan  menyusun konsep dan prinsip matematika dengan cara mereka sendiri. Pengetahuan yang dibangun melalui kegiatan seperti itu akan lebih kuat dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah matematika lebih baik.
Agar kegiatan pembelajaran dengan penerapan RME berjalan dengan baik, maka prinsip-prinsip pendekatan RME harus dipahami dengan baik. Menurut Gravemeijer (1994), prinsip-prinsip pendekatan RME adalah: (a) Guided Reinvention and Progressive Mathematization (penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif, (b) Didactical Phenomenology (penomena didaktik), dan (c) Self-developed Models (membangun model sendiri).
a.             Guided Reinvention and Progressive Mathematization
Guided reinvention bermakna bahwa konsep dan prinsip dalam matematika ditemukan oleh siswa dengan bimbingan orang dewasa (guru). Reinvention artinya siswa diberikan kesempatan untuk mengalami proses pembelajaran seperti para ilmuan saat mereka menemukan suatu konsep melalui topik yang disajikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Dengan demikian siswa merasa bahwa mereka menemukan sendiri apa yang dipelajarinya. Jadi para siswa didorong untuk aktif selama pembelajaran berlangsung, sehingga mereka dapat mengkontruksi pengetahuan mereka sendiri.
b.    Didactical Phenomenology
Didactical phenomenology (fenomena didaktik), artinya dalam mempelajari konsep-konsep mengandung prinsip-prinsip dan materi-materi lain dalam matematika. Para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual, yaitu masalah yang berasal dari dunia nyata atau setidak-tidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah nyata.

c.    Self-development Model 

Self-development model (mengembangkan model sendiri), artinya dalam mempelajari konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain dengan melalui masalah-masalah yang kontekstual, siswa perlu mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Model-model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berfikir yang paling dikenal oleh siswa yang mungkin masih bersifat intuitif, kearah berfikir yang lebih formal.
Prinsip utama RME menunjukkan bahwa pendekatan ini memandang peserta didik adalah individu yang memiliki pengalaman yang nyata dan dapat dimanfaatkan membangun pengalaman belajar yang baru atas bimbingan guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Andeson (1994), Loucks-Horsley (1998), van de Berg (1996), Wart, (1994) (dalam Sutarto, 1999), bahwa pendekatan realistik memiliki pandangan tentang siswa sebagai berikut,
1.         Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematik yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
2.         Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
3.         Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan kembali, dan penolakan;
4.         Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
5.         Setiap siswa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Sehubungan dengan hal ini, Gravemeijer (1994) mengemukakan lima karakteristik utama dalam pendekatan matematika realistik, yakni: (1)  menggunakan masalah kontekstual (used contektul problem); (2) menggunakan model; (3) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (4) interaktif (interactiviti); dan (5) keterkaitan (intertwinment).
a.     Menggunakan Masalah Kontekstual
Masalah kontekstual dalam pendekatan matematika realistik dijadikan sebagai titik awal siswa dalam belajar, untuk menopang terlaksananya suatu proses penemuan kembali (reinvention) sehingga secara formal siswa dapat memahami konsep matematika. Sehubungan dengan itu, maka pemilihan masalah kontekstual untuk  diajukan kepada siswa harus melihat latar belakang peserta didik. Berkaitan dengan fungsi masalah kontekstual, Treffers dan Goffree  (1985)  mengemukakan bahwa soal-soal yang kontekstual tersebut berfungsi, sebagai: (1) pembentukan konsep (untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika); (2) pembentukan model (untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir bermatematika); (3). pengaplikasian (untuk memanfaatkan keadaan nyata sebagai sumber aplikasi); dan (4). latihan ( untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata).
b.    Menggunakan Model
Agar masalah kontekstual yang dihadapkan kepada siswa dapat diselesaikan secara matematika, maka permasalahan tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan dalam bentuk model matematika (model for). Hal inilah yang disebut dengan pemodelan. Dalam proses pemodelan ini, siswa mencoba menemukan hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasi yang dapat berupa lambang-lambang matematik, skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, serta yang lain. Aktivitas siswa dimulai dari mempormulasikan masalah kontekstual ke dalam bentuk informal yang disebut dengan model of. Melalui proses refleksi dan generalisasi, siswa diarahkan ke model matematika yang lebih umum yang disebut dengan model for.

c.     Menggunakan Kontribusi dan Produksi Siswa
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, siswa akan mengembangkan cara-cara penyelesaian masalah yang diberikan menurut cara-cara mereka sendiri. Sehubungan dengan itu, maka siswa baik secara individual atau berkelompok harus memberikan kontribusinya dengan strategi-strategi penyelesaian yang dikembangkan sendiri oleh siswa (free production) dalam penyelesaian masalah tersebut.
d.    Interaktif
Dalam mengembangkan penyelesaian-penyelesaian masalah kontekstual, siswa saling berinteraksi dan memberikan kontribusi yang difasilitasi oleh guru. Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik.  Bentuk interaksi yang terjadi dalam pembelajaran dapat berupa negoisasi secara eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan guru.
e.    Keterkaitan (Intertwinment)
Salah satu cara untuk meningkatkan image positif siswa terhadap matematika adalah mempersiapkan siswa menerima pelajaran dengan cara membantu siswa menghubungkan pengetahuannya dengan materi yang akan dipelajarinya. Hal ini sangat penting, karena siswa akan melihat bahwa ada jalinan atau keterkaitan antar satu konsep dengan konsep lain atau satu materi dengan materi lain baik dalam matematika itu sendiri maupun dengan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar